Selasa, 12 Mei 2009

tugas mid semester pmdi

SOAL MID SEMESTER

1.Uraikan istilah ini

a)Modernisasi

b)Sekulerisasi

c)Westernisasi

d)Reformasi

e)Fundamentalisme

f)Rasionalisme

g)Pluralisme

Setiap pengertian berikan contoh

2.Pembaharuan di Turku lebih awal dengan pembaharuan Islam lanilla seperti di Mesir,

a)Mengapa Pembaharuan di Turku Lebih Awal?

b)Apa Perbedaan dan Persamaan Pembaharuan di Turku dan mesir?

3.Siapa Mustafa Kamal Attaturk,apa pentingnya kamal attaturk bagi dunia Islam?Apa saja usaha-usahanya untuk kepentingan Islam dan Umatnya?

4.Apa dan Siapa Hasan Al-Banna dan Muhammad Natsir (Indonesia),Jelaskan Persamaan dan Perbedaan kedua tokoh tersebut dalam berbagai Hal,termasuk dalam Politik.

1.b) Sekulerisasi

Problematika Islam dan sekularisme maupun sekularisasi dalam tradisi perkembangan pemikiran modern dalam Islam, baik di dunia internasional maupun di Indonesia cukup bervariasi di dalam cara menangkap makna sekularisme maupun sekularisasi. Adapun para pemikir modern Islam tersebut adalah; pertama Muhammad al-Bahy. Dia beranggapan bahwa Islam dan sekularisme merupakan dua hal yang antagonistik, karena posisi Islam kebalikan dari sekularisme. Dengan demikian, apabila negara-negara yang berpegang pada sekularisme dapat mencapai kemajuan, bukan berarti Islam menjadi sebab suatu kemunduran. Ada dasar ijtihad penggunaan penalaran hukum secara independen untuk memberikan jawaban atas suatu masalah ketika al-Qur’an dan Sunnah diam. Maka dalam Islam, dan ini penting bagi manusia, bahwa hukum sangat mungkin berubah dan berkembang untuk selalu diinterpretasi ulang seiring dengan perkembangan jaman dari masa ke masa.

Dengan begitu, kemajuan bukan berarti harus diperoleh dengan memisahkan urusan agama dari negara sebagaimana kasus Turki, suatu contoh negara Islam yang menerapkan sekularisme. Pada hakikatnya kemajuan yang diperoleh Turki saat itu menurut al-Bahy hanya merupakan sebuah hadiah dari negara lain (Amerika dan Rusia), karena Turki telah berhasil menjauhkan diri dari Islam, disamping juga negara tersebut mempunyai kepentingan tertentu dengan Turki yakni menundukkan negara di Asia.

Kedua, Muhammad Qutb. Dia menggunakan istilah sekularisme dari bahasa Arab ilmaniyah sebagai tujuan pokok sekularisasi. Sekularisme cenderung diartikan sebagai membangun struktur kehidupan tanpa dasar agama atau dalam terminologi bahasa Arab disebut alla diniyah (non agamis). Kajian Qutb tentang Islam dan sekularisme ini bertitik tolak dari suatu hadits nabi, yaitu bahwa Islam bermula dalam kedaaan asing dan nantinya akan kembali terasing, berbahagialah orang-orang yang terasing. Mereka selalu memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia.

Hadits tersebut menurut Qutb menunjukkan bahwa orang Islam terasing dari bumi Islam, karena bumi telah dikuasai oleh sekularisme dan atheisme yang mengeluarkan umat manusia dari agama. Dengan kata lain, sekularisme merupakan musuh Islam dan dalam pandangan Islam adalah batil. Islam tidak hanya terbatas pada akidah, akan tetapi tidak ada lapangan yang keluar dari agama. Islam juga mencakup Syariah. Kehidupan dalam Islam hanya terbagi dua yaitu Islam dan Kafir atau musyrik.

Apabila agama hanya ditempatkan di hati dan tidak bersangkut paut dengan urusan hidup, ini adalah batil dan tidak sinkron dengan Islam, terlebih jika ada pendapat bahwa politik itu kotor sedangkan agama adalah luhur dan suci. Karena itu, tidak boleh mencampuradukkan agama dengan politik. Pernyataan tersebut, menurut Qutb, merupakan statemen sekular yang terselubung.

Pemikiran tentang perubahan, menurut Qutb, bukanlah hal baru dalam Islam. Kitab Tuhan abadi, up to date, segala sesuatu tetap di dalamnya, namun meliputi aspek-aspek perubahan diantara celah-celah lembarannya. Disinilah pentingnya arti ijtihad.

Ketiga adalah Muhammad al-Naquib al-Attas. Ia mengkaji masalah sekularisasi secara holistik, dalam arti ingin menjembatani pemikir Barat dan Muslim. Menurutnya, Islam tidak sama dengan Kristen. Karenanya, sekularisasi yang terjadi pada masyarakat Kristen Barat berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Muslim.

Mengawali pendapatnya tentang sekularisasi, al-Attas membedakan antara pengertian sekular yang mempunyai konotasi ruang dan waktu, yaitu menunjuk pada pengertian masa kini atau dunia kini. Selanjutnya, sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia dalam agama dan metafisika atau terlepasnya manusia dari agama dan metafisika atau terlepasnya dunia dari pengertian religius (dalam istilah weber), pembebasan alam dari noda-noda keagamaan, sekularisme yang menunjukkan pada suatu ideologi.

Selanjutnya, menurut al-Attas, Islam menolak penerapan apapun mengenai konsep-konsep sekular, sekularisasi maupun sekularisme, karena semua itu bukan milik Islam dan berlawanan dengannya dalam segala hal. Dengan kata lain, Islam menolak secara total manifestasi dan arti sekularisasi baik eksplisit maupun implisit, sebab sekularisasi bagaikan racun yang bersifat mematikan terhadap keyakinan yang benar (iman).

Dimensi terpenting dari sekularisasi, menurut al-Attas, sebagaimana pendapat Harvey Cox, adalah desakrisasi atau penidak keramatan alam. Dimensi inilah yang tidak diterima oleh kalangan Kristen Barat. Sedangkan Islam menerima pengertian tersebut dalam arti mencampakkan segala macam tahayul, kepercayaan animistis, magis serta tuhan-tuhan palsu dari alam. Pengertian Islam tentang keramatan alam ini adalah pengertian wajar tanpa mendatangkan sekularisasi bersamanya.

Sementara itu, pandangan para cendekiawan muslim Indonesia pun berbeda-beda dalam mendefinisikan sekularisme dan sekularisasi. Nurcholish Madjid, misalnya, melihat sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme (ideologi), tetapi bentuk perkembangan yang membebaskan (liberating development). Proses pembebasan ini diperlukan umat Islam karena akibat perjalanan agamanya, mereka tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islami itu, yakni mana yang transendental dan mana yang temporal. Oleh karena itu, sekularisasi menjadi suatu keharusan bagi umat Islam.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid, sekularisasi memperoleh maknanya dalam desakralisasi segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiyah (transendental), sehingga sekularisasi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya. Dalam artian ini, konsep sekularisasi Nurcholish Madjid digunakan untuk membedakan bukan untuk memisahkan persoalan duniawi dan ukhrowi. Dengan kata lain, Nurcholish Madjid mencoba memberikan penafsiran baru mengenai peristilahan tersebut, yakni sarana untuk membumikan ajaran Islam (Islamisasi atau pentauhidan).

Nampaknya, pengertian tersebut digunakan pada istilah sosiologi sebagaimana pendapat Talcott Parsons, Harvey Cox dan Robert N. Bellah yang lebih merujuk pada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu tahayul dalam beberapa aspek kehidupan. Jadi, sekularisasi tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan, akan tetapi seperti pendapat Bellah adalah devaluasi radikal. Oleh karena itu, Nurcholish Madjid juga mengajukan konsep-konsep seperti sekularisasi, desakralisasi dan rasionalisasi.

Sementara itu, cendekiawan Muslim lainnya adalah HM. Rasyidi. Secara umum pandangan HM. Rasyidi tentang sekularisasi merupakan tanggapan bahkan kecaman yang paling ekstrem kepada pemikiran sekulaisasi Nurcholish Madjid. Menurut Rasyidi, belum ada dalam sejarah bahwa istilah sekularisme atau sekularisasi tidak mengandung prinsip pemisahan antara persoalan dunia dengan agama.

Sekularisasi, menurut Rasyidi, bisa membawa pengaruh merugikan bagi Islam dan umatnya. Karena itu, keduanya (sekularisasi dan sekularisme) harus dihilangkan. Memang benar pemikiran baru bisa menimbulkan dampak positif untuk membebaskan umat dari kebodohan, namun penggunaan istilah sekularisasi cukup mengecewakan banyak pihak, karena istilah itu sendiri tidak berlaku dalam Islam dan hanya tumbuh dan berlaku dalam kehidupan Kristen Barat. Karenanya, sekularisasi berhubungan erat dengan sekularisme, sebab sekularisasi berarti penerapan sekularisme.

Sesungguhnya akar kontroversi sekularisme maupun sekularisasi dengan Islam itu berpijak dari konsep atau gagasan yang telah dikemukakan oleh para pemikir yang beraneka ragam, terutama diwarnai oleh bidang ilmu atau sudut pandang masing-masing. Sekularisasi dalam konteks yang berbeda, akan terkena penilaian yang berbeda bahkan berlawanan. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah secara historis antara Barat dan Timur serta Indonesia terdapat pertautan baik dari segi perkembangan sosial politik ataupun sosial kegamaan.

Ditinjau dari perkembangan sosial politik terhadap sekularisasi di dunia Barat, maka kesan yang pertama muncul adalah kemajuan negara-negara Barat merupakan hasil dari proses evolusi sistem politik keagamaan sejak abad pertengahan malalui renaisans dan reformasi. Dalam pandangan Barat, sekularisasi merupakan fenomena universal dan tak terelakkan, bahkan mutlak diperlukan sebagai prasyarat modernisasi, sebagaimana dikatakan Smith, dunia tanpa kecuali mengalami the grand process of modernization. Ini berarti proses sekularisasi itu pasti terjadi, karena dalam proses modernisasi terimplikasi sekularisasi.

Modernisasi, secara implikatif, cenderung merupakan proses dimana di dalamnya komitmen pola-pola lama dikikis dan dihancurkan yang kemudian disuguhkan pola-pola baru yang diberi status modern. Oleh karena dalam modernisasi terjadi pengikisan pola-pola lama, maka berarti pula akan menghancurkan nilai-nilai agama. Ditengah gelombang besar modernisasi dalam proses sekularisasi tersebut, sesungguhnya momentum agama mendapat batu ujian berupa kemampuan untuk memelihara kesinambungan yang komunikatif antar yang transenden-Illahiyah dengan konteks realitas waktu yang senantiasa berkembang. Dialektika antara doktrin suci dengan perkembangan masyarakat, menyebebkan citra sosial keagamaan ditempatkan pada meja kristisisme. Peran agama semakin kabur dan dipertanyakan.

Pada basis institusional pada sekularisasi terlihat dari adanya deklinasi (kemerosotan) agama dalam masyarakat, kemudian rutinisasi yang cenderung menghilangkan karakteristik sosio-etis, kemudian faktor diferensiasi antar komunitas sosial dan komunitas religius yang menjadikan munculnya kehidupan sekuler. Pada akhirnya faktor keterlepasan juga menentukan yakni melepaskan aspek-aspek kehidupan dari pengawasan religius. Selanjutnya pada basis normatif, sekularisasi memperlihatkan transformasi agama ke dalam batas-batas ke kinian.

Pada hakikatnya pandangan pemikir Barat tersebut merupakan refleksi dari situasi dan kondisi masyarakat. Ini tentu saja akan berbeda dengan para pemikir Timur yang mempunyai landasan berbeda. Pandangan pemikir Barat bertolak dari kondisi historis, sedangkan pemikir Timur dari keyakinan agama. Sehingga sekularisasi ataupun sekularisme merupakan anti tesis terhadap agama dan mempunyai konotasi negatif. Dari perbedaan sudut pandang inilah yang menjadikan pendapat dinatara mereka berbeda bahkan kontradiktif.

Bertitik tolak dari keyakinan agama, sekularisasi di Timur (terutama negara Muslim), dilatar belakangi oleh sebuah keprihatinan terhadap keterbelakangan umat akibat tradisi yang telah lama mengakar dan disangkanya Islami. Dalam artian ini, sekularisasi dimaksudkan sebagai usaha untuk membebaskan umat dari tradisi keagamaan yang sebenarnya bersifat duniawi, bukan sakral (Islami).

Hal ini senada dengan pemikiran Harvey cox bahwa sekulariasi mempunyai arti khusus yang justeru berlawanan dengan ide sekularisme. Dimensi penting dari sekularisasi adalah desakralisasi (penidak keramatan); atau dalam bahasa Robert N. Bellah, sekularisasi diartikan sebagai devaluasi radikal terhadap struktur sosial yang ada dan berhadapan dengan hubungan Tuhan dan Manusia yang sentral. Nampaknya, dimensi inilah yang tidak diterima oleh kalangan Kristen Barat, sedangkan Islam menerima pengertian tersebut dalam arti pembebasan masyarakat dari belenggu tahayul dalam berbagai aspek kehidupan dan bukan berarti adanya penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan. Ini merupakan pengertian penidak keramatan alam tanpa menerapkan sekularisme. Dalam arti ini, sekularisasi merupakan kata kunci yang mempunyai konotasi positif.

Dalam konteks pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, Nurcholish Madjid melontarkan gagasan tentang sekularisasi. Istilah ini digunakan dalam konsep tauhid. Konsep tersebut bukan dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme adalah sebuah ideologi. Karenanya, sekularisasi disini bukan dimaksudkan untuk mengubah kaum Muslim menjadi sekular, tetapi untuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari syirik dan tahayul. Dengan demikian sekularisasi dimaksudkan untuk memantapkan dan memutlakkan Tuhan semata-mata (tauhid).

Sekularisasi juga digunakan dalam arti sosiologis, artinya sekularisasi memperoleh makna yang kongkrit sebagai desakralisasi. Dengan begitu, istilah sekularisasi ini tidak berarti penghapusan nilai-nilai agama, tetapi menumbuhkan semangat keagamaan.

Terminologi yang digunakan Nurcholis Madjid tersebut dinilai terlalu vulgar dan menimbulkan konotasi radikal, meskipun maknanya berlawanan dengan aslinya. Istilah tersebut, kemudian menjadi titik kritis (critical point) dalam berbagai tanggapan yang diberikan terhadap gagasan yang dianggap baru itu. Jadi sebenarnya, akar kontroversi tersebut hanya berkisar pada masalah semantik (arti sekularisasi itu sendiri). Akibatnya, reaksi yang muncul justru melupakan substansi pemikiran yang dianggap baru dan semangat empiris yang dikandung di dalamnya. Hal ini karena, dalam kosa kata bahasa Indonesia, sekularisasi terlanjur berkonotasi negatif, terutama setelah istilah ini terekam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun dalam Ensiklopedi Indonesia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah sekular diartikan sebagai bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian, sehingga sekularisasi berarti membawa ke arah kecintaan kepada kehidupan dunia. Norma-norma tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Sementara dalam ensiklopedi Indonesia, kata sekularisasi diartikan (latin: saeculum; waktu, abad, generasi, dunia) suatu proses yang berlaku sedemikian rupa, sehingga orang atau masyarakat yang bersangkutan semakin berhaluan dunia, dalam arti terlepas dari nilai-nilai atau norma-norma yang dianggap kekal dan sebagainya (1984: 3061).

Konotasi yang negatif ini dalam berbagai waktu dan tempat telah disertai sikap terhadap gagasan itu. Maka, untuk menempatkan persoalan secara proporsional, yang harus diperhatikan adalah aspek sentral dari sekularisasi yaitu suatu proses dan ini harus dibedakan dengan sekurarisme yang sudah merupakan sebuah ideologi. Karena itu, sekularisasi mempunyai makna yang beraneka ragam, bahka berlawanan, tergantung sudut pandang yang dipergunakan.

1.c)Westernisasi

Adalah Pembaratan artinya segala sesuatu yang datang dari barat dijadikan patokan atau rujukan .contoh yang nyata dari westernisasi adalah pada pemerintahan Mustafa Kamal attaturk yang mengadopsi segala sesuatu yang datang dari barat. Peradaban menurut Mustafa Kemal, berarti peradaban Barat. Tema utama dari pandangannya tentang pem-Barat-an adalah bahwa Turki harus menjadi bangsa Barat secara utuh. kkonsep utamanua adalah Westernisasi, sekulerisasi, dan nasionalisme. Untuk itu dalam aspek agama, Pemerintah Kemalis mengeluarkan kebijakan larangan menggunakan pakaian-pakaian yang dianggap pakaian agama di tempat-tempat umum dan menganjurkan masyarakat Turki menggunakan pakaian sebagaimana orang-orang Barat berpakaian (berjas dan bertopi). Peraturan ini mulai efektif pada November 1925 dan hingga saat ini masyarakat Turki menggunakan pakaian ala Barat. Sampai saat ini pemakaian jas sudah menjadi ciri umum dari masyarakat Turki.

1.d)Reformasi

Reformasi berasal dari kata bahasa Inggris: to reform yang berarti: membentuk lagi, menyusun kembali, memperbaiki, memperbaharui, mengubah; ini adalah bentuk kata kerja. Kata bendanya: Reformasi berasal dari kata Reformation, yang berarti pembaharuan, perbaikan hidup, penghapusan tindakan-tindakan buruk, pembentukan baru.
Reformist: Penganut gerakan pembaharuan. Reformer: orang yang mengubah, biasanya diartikan sebagai pemimpin yang melakukan pembaharuan, perubahan.
Reformation (gerakan reformasi) sebagai suatu istilah mulai dipergunakan dalam abad ke-16 M untuk suatu gerakan dalam agama Kristen yang memisahkan diri dari Gereja Roma, menjadi sekte yang berjumlah besar.

Padanan arti Reformasi dalam peristilahan Islam adalah ishlah. Yang melakukan ishlah adalah mushlih. Mushlih yang datang dari Tuhan disebut Mushlih Rabbani. Sebelum kedatangan Rasulullah Saw., Mushlih Rabbani itu diutus hanya untuk suatu kaum atau bangsa saja. Tetapi Rasulullah Saw diutus untuk seluruh dunia. Jadi Beliau Saw adalah Mushlih Rabbani universal. Dan oleh karena Beliau Saw Mushlih Rabbani yang datang sebagai Khataman Nabiyyin, maka Mushlih Rabbani yang datang sesudah Rasulullah Saw harus bersumber kepada ajaran Beliau Saw dan bersifat Universal pula.
Dalam Al Quran (Surah Al Ahzab : 46-47) ditegaskan bahwa Rasulullah Saw diutus sebagai :

  • Syahidan: saksi atas kebenaran para Mushlih Rabbani yang datang sebelum dan sesudah Beliau Saw.
  • Mubasysyiron: Seorang pembawa khabar-khabar gembira.
  • Nadziron: Pemberi peringatan kepada manusia
  • Da’iyanIlallah: Seorang penyeru kepada Allah
  • Sirojan-m-muniro: Sumber cahaya yang memberikan cahaya (sinar) penerang

reformasi dalam Islam itu ialah:

  1. Reformasi yang dilakukan Islam terhadap ajaran-ajaran agama sebelum Islam.
  2. Reformasi yang dilakukan atas pemikiran dan penghayatan ajaran Islam, yang sebenarnya sudah menyimpang dari ajaran Islam yang pokok dan yang asli.
  3. Reformasi terhadap pengamalan-pengamalan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Contohnya adalah Secara umum, gerakan pembaharuan Islam yang muncul dari berbagai aliran dan wilayah yang berbeda memiliki beberapa premis intelektual yang serupa. Pertama, Islam tidak dapat dipersalahkan atas dekadensi nyata yang diderita dunia Islam. Segala keburukan itu sepatutnya dinisbatkan kepada umat Islam yang belum dapat hidup otentik sesuai dengan ajaran agamanya. Kedua, Islam adalah agama rasional yang senantiasa menginspirasi dan menuntut kemajuan umatnya. Maka, pembaharuan menjadi niscaya untuk mengeluarkan umat dari peri kehidupan yang pasif dan statis kepada peri kehidupan Islam yang sesungguhnya yang bersifat akttif dan dinamis. Dari sinilah muncul seruan-seruan untuk melakukan gerakan pemurnian pemahaman dan praktek implementasi ajaran agama hingga ajakan untuk kembali kepada sumber otoritas agama yang asli dengan memakai pemikiran yang kritis dan merdeka. Dalam pembacaan M.C. Ricklefs, gerakan pembaharuan Islam pada mulanya memang tampil sebagai kombinasi antara ‘konservatisitas’ dan ‘progresivitas’. Yakni, perkawinan antara upaya mendobrak dominasi pemikiran madhhabi abad pertengahan melalui seruan kembali kepada sumber otentik Islam: al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan ikhtiar berupa ijtihad baru yang secara kreatif memanfaatkan kemajuan pengetahuan modern yang telah digapai dunia Barat. Kombinasi inilah yang dipercaya bakal melempangkan jalan bagi kebangkitan kembali dunia Islam ke panggung sejarah dan peradaban.

Dalam prakteknya, gerakan pembaharuan ini mengemuka kedalam dua aliran utama: reformis dan modernis. Kalangan reformis melihat esensialitas keterikatan gerakan dengan nilai-nilai Islam guna menentang pengaruh kebudayaan materialis asing. Anjuran kembali kepada ortodoksi ini tentu tidak menghalanginya untuk meninggalkan formulasi-formulasi klasik tertentu tentang ajaran Islam. Bagi mereka, tiap “kebangkitan” haruslah dimulai dengan reformasi keagamaan. Kalangan modernis yang juga melihat pentingnya referensi agama bagi gerakan Islam modern cenderung terbuka menerima prinsip-prinsip sekuler, khususnya dalam pemikiran politik mereka. Gerakan pembaharuan Islam ini dapat dikatakan merambah hampir seluruh dunia Islam, tetapi pusat pembiakan ide-ide pembaharuan sejauh ini erat dihubungkan dengan tokoh-tokoh dari wilayah Mesir, India dan Turki.

1.e)Fundamentalisme

Fundamentalisme adalah sebuah kata yang penuh arti dan muatan. Hal ini tergantung siapa yang menginterpretasikannya. Namun, kata fundamentalisme, secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai sikap [seseorang] yang berpegang teguh pada prinsip (par excellence prinsip agama) dan mempertahankan keyakinan itu. Menurut Encyclopaedia of the Social Sciences (1968), fundamentalisme adalah sebuah nama gerakan agresif dan konservatif di lingkungan gereja Kristen Protestan di Amerika Serikat yang berkembang dalam dasawarsa sesudah Perang Dunia I. Gerakan ini tercetus terutama di lingkungan gereja baptist, desciple dan presbyterian yang memperoleh dukungan dari kalangan atau kelompok kependetaan lainnya dengan WJ. Bryan sebagai tokohnya.

Martin E. Marty mengemukakan sebuah sikap atau gerakan dapat dikategorikan sebagai fundamentalisme apabila memenuhi empat prinsip. Pertama, fundamentalisme bersifat oppositionalism (paham perlawanan), yaitu sikap atau gerakan yang selalu melawan terhadap hal (baik ide sekulerisme maupun modernisme) yang bertentangan dan mengancam eksistensi agama. Kedua, fundamentalisme bersifat penolakan terhadap paham hermeneutika, yakni penolakan terhadap sikap kritis atas teks dan interpretasinya. Ketiga, fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham pluralisme dan relativisme yang keduanya dihasilkan dari pemahaman agama yang keliru. Keempat, fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham sosiologis dan historis, yakni perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.

Dawam Rahardjo menjelaskan ciri lain yang melekat pada kaum fundamentalis, antara lain sikap dan pandangan yang radikal, militan, berpikiran sempit (narrow-minded), bersemangat secara berlebihan (ultra-jealous) atau cenderung ingin mencapai tujuan dengan memakai cara-cara kekerasan. Bahkan dia mengatakan bahwa fundamentalisme itu merefleksikan sikap tidak percaya kepada kemampuan penalaran dan lebih menekankan aspek emosional atau perasaan. Sikap ini juga meragukan kemampuan manusia untuk memecahkan masalah pungkasan (ultimate problems) dan mempercayakan diri pada lembaga ilahiyah (divine agency). Pandangan seperti ini tidak hanya merupakan ciri khas tradisi Kristiani, melainkan juga dimiliki oleh mereka yang paling sedikit menerima manfaat dari budaya rasional atau mereka yang kehidupan sehari-harinya masih sangat tergantung pada proses alami dan belum banyak berada dalam kontrol manusia itu.

Sedang Yusril Ihza Mahendra menjelaskan bahwa fundamentalisme tidak membangun suatu kerangka intelektual yang canggih seperti dilakukan oleh kaum modernis dan neo-modernis. Kaum fundamentalis sebaliknya menafsirkan bahwa seluruh doktrin adalah universal dan berlaku tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Proses intelektualisasi seperti dilakukan kaum modernis menjadi tidak penting, sebab yang penting bagi kaum fundamentalis adalah ketaatan mutlak kepada Tuhan, dan keyakinan bahwa Tuhan memang telah mewahyukan kehendak-Nya secara universal kepada manusia. Dengan kata lain, fundamentalisme lebih menekankan ketaatan dan kesediaan untuk menundukkan diri kepada kehendak Tuhan dan bukan perbincangan intelektual untuk mengerti. Karena itu, seringkali kaum fundamentalis ber-hujjah bahwa bagi mereka yang lebih penting adalah iman dan bukan diskusi. Iman justeru membuat orang mengerti, dan bukan mengerti yang membuat orang beriman. Rasionalitas, menurut pandangan kaum fundamentalis pada umumnya, cenderung hanya menjadi alat untuk melegitimasi kehendak hawa nafsu dalam "mempermudah-mudahkan" agama. Apa yang penting bagi mereka adalah memelihara sikap "militan" dalam menegakkan agama, dan bukan memelihara semangat intelektual yang cenderung membuat orang tidak berbuat apa-apa. Sikap seperti ini memang membuka peluang ke arah sikap doktriner dalam memahami agama. Sejalan dengan pemikiran di atas, Fazlur Rahman, salah seorang pemikir Islam yang cenderung menggeneralisir makna fundamentalisme, menyatakan bahwa kelompok fundamentalisme sebagai kelompok yang dangkal dan superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak bersumber kepada al-Qur’a>n dan budaya intelektual tradisional Islam.

Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa fundamentalisme merupakan gerakan yang timbul di kalangan umat Kristen di Barat dalam rangka memegang teguh prinsip agama yang diyakininya. Namun, dalam perkembangannya kata fundamentalisme, khususnya yang dilabelkan kepada kelompok Muslim, cenderung dikonotasikan sebagai hal negatif bahkan peyoratif yang diasumsikan selalu membuat kerusuhan dan kerusakan.

1.f)Rasionalisme

Rasionalisme adalah salahsatu aliran filsafat yang mementingkan rasio (Akal) daripada wahyu (nakl).Rasionalisme dalam Islam adalah agama dipelajari dengan menggunakan akal (Rasio) karena didasari pada tidak ada pertentangan antara akal dan agama.

Namun pada kenyataannya agama sering dipahami bertolak belakang dengan akal.Ini disebabkan oleh pemikiran kefilsafatan mengandalkan akal fikiran manusia sebagai modal dasarnya, semen¬tara apa yang disampaikan oleh agama tidak selamanya dapat diakalkan, maka sering terjadi ketegangan antara pemikiran filsafat dan dogma agama. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada abad abad pertama sebelum hijrah timbul aliran Mu’ta¬zilah yang ingin memerangi filsafat Yunani justru dengan menggunakan metode filsafat, sehingga golongan ini disebut rasionalis. Beberapa dalil yang oleh kalangan Islam ortodok dianggap sebagai menyimpang dari ajaran murni yang mereka ajarkan ialah, pertama: Manusia berkemauan bebas, karena tanpa adanya kemauan bebas mustahi1 menyusun etika. Kedua: mereka berpendapat bahwa al Qur’an diciptakan di¬dalam waktu, akhirnya bahwa sifat sifat Tuhan identik de¬ngan zat-Nya. Maksud meteka ialah membuka jalan bagi suatu analisa rasional, dan pembahasan tentang Tuhan serta patokan patokan tentang iman yang telah terikat walctu. Dengan mengingkari keabadian al Qur’an mereka mungkin tidak ber¬maksud untuk menisbikan ajaran agama, melainkan justru mengaktualkannya. Bahwa kebenaran bersifat abadi mungkin harus ditafsirkan demikian, bahwa pada jaman jaman berlainan “kebenaran” itu harus ditafsirkan berlainan pula. Bagaimanapun ajaran Mu’tazilah telah mewariskan nilai nilai positif, karena mereka telah mewariskan kepada ahli ahli pikir di kemudian hari masalah tentang otonomi filsafat, walau¬pun pada akhir abad kesembilan pengaruh Mu’tazilah berakhir dan ajaran moreka dilarang.

Ibnu Sina searang filosof terkenal telah membedakan antara zat Tuhan yang niscaya dengan dunia ciptaan yang tidak niscaya. Ia membedakan antara esensi (zat, hakekat sesuatu) dan eksistensi (adanya sesuatu, wujudnya), segala eksistensi bersumber pada Tuhan. Dengan demikian Ibnu Sina membedakan antara zat dan wujud, namun menurutnya sebagian dari keniscayaan eksistensi Tuhan itu terlimpah pada dunia ciptaan, sehingga dunia ini dapat dikenal secara rasional. Ia bahkan juga menarik suatu kesimpulan bahwa dunia bersifat awali, dan abadi tanpa awal dan tanpa akhir. Menurut¬nya dunia tidak beraval dalam waktu. Menurutnya menerima awal itu menurut zatnya.

Maka tidaklah heran bahwa ajaran-ajaran serupa itu akan menimbulkan perlawanan dari ahli ahli teologi Islam seperti al-Ghazali yang menyerang Ibna Sina dengan tajam dalam bukunya A1 Tahafut Al-Falsafah, Ghazali membela patokan patokan agama yang diwahyukan seperti kebebasan Tu¬han dan terciptanya dunia dalam waktu. Tuduhannya terhadap Ibnu Sina bahwa dia menilai penalaran filsafat lebih tinggi daripada ajaran agama, menunjukkan bahwa ketegangan yang antara filsafat dan religi belum dapat diselesaikan. Disam¬ping di dalam kalangan Islam sendiri muncul aliran mistik (sufi) di atas suatu teori mengenai kenyataan mereka menempatkan kontak langsung dengan keindahan yang tercapai le¬wat kemiskinan, kerendahan hati serta kesepian, manusia, dapat manunggal dengan Tuhan. Pandangan mereka secara tidak langsung didukung oleh filsafat Ghazali dengan serangan¬nya terhadap kaum filosof. Demikian gambaran sekilas apa yang terjadi dari ketegangan ketegangan yang terjadi antara kaum filosof di satu pihak dan kaum teolog di pihak 1ain.

1.g)Pluralisme

Pluralisme adalah paham religius artifisial, yang berkembang di Indonesia, dan merupakan bentuk lain dari asimilasi tetapi menyerap nama pluralism. Kata Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng]pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."

Ada dua istilah yang sering kita dengar pada tema ini, yaitu; ‘pluralitas’ dan ‘pluralisme’. Secara etimologis kedua kata tersebut sama-sama memiliki kata dasar ‘plural’ dan masing-masing merupakan terjemahan dari dua kata dalam bahasa inggris, ‘plurality’ dan ‘pluralism’. Kata ‘plurality (pluralitas), dalam kamus, berarti “ kondisi majemuk atau berbilang”. Adapun kata ‘pluralism’ (pluralisme) memiliki dua arti, yaitu:

a) Keberadaan kelompok-kelompok yang berbeda dari segi asal, etnis, pola budaya, agama, dan lain-lain dalam suatu negara atau masyarakat;

b) Kebijakan yang mendukung perlindungan terhadap kelompok-kelompok tersebut dalam negara atau masyarakat.

Dari tinjauan etimologi tersebut, arti kata pluralitas sama dengan pluralisme dalam arti pertama, yaitu sama-sama merujuk kepada realitas kemajemukan; sedangkan arti kedua dari kata pluralisme merujuk kepada sikap memihak atau mendukung realitas tersebut. Ketika dihubungkan dengan kata agama, maka kedua kata tersebut membentuk konsep yang masing-masing memiliki aksentuasi dan referensi makna yang berbeda. Konsep ‘pluralitas agama’ menekankan dan merujuk kepada realitas adanya keragaman agama dan hubungan antara (pemeluk) agama itu dalam realitas; sedangkan ‘pluralisme agama’ menekankan dan merujuk kepada sikap dan pandangan tertentu yang mendukung realitas keragaman agama itu. Konsep pluralisme agama, secara filosofis, merujuk kepada suatu teori tertentu tentang hubungan antar tradisi-tradisi yang berbeda, dengan klaim-klaim mereka yang berbeda dan bersaing.

Singkatnya konsep pluralitas agama merujuk kepada adanya realitas keragaman agama, dan juga adanya hubungan antaragama yang beragam itu. Sedangkan konsep pluralisme agama merujuk kepada sikap atau teori yang positif mendukung realitas keragaman agama dan kesaling-hubungannya.

2.Pembaharuan di Turki lebih awal dengan pembaharuan Islam lainya seperti di Mesir,

a)Mengapa Pembaharuan di Turki Lebih Awal?

b)Apa Perbedaan dan Persamaan Pembaharuan di Turki dan mesir?

Pembaharuan Diturki lebih awal daripada mesir dikarnakan :

Adanya Dinasti Turki Utsmani telah mengalami perjalanan dua periode, yakni periode pertengahan dan periode modern. Wilayahnya pun sangat luas yang meliputi: Balkan, Turki, Timur Tengah Arab, Mesir dan Afrika Utara. Sedangkan pengaruhnya sampai ke Asia Tengah, Asia Kecil, Eropa Timur, Laut Merah (Timur Tengah Arab) dan Sahara (Afrika Utara).

Eksistensi dinasti Turki Utsmani yang mempengaruhi tiga benua, sangat penting bagi peradaban Islam selanjutnya. Hal ini didasarkan pada realita sejarah bahwa selama berabad-abad kekuasaannya, Dinasti Turki Utsmani telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan peradaban, baik di negara-negara Arab, Asia, Afrika maupun Eropa.

Persamaan Dan Perbedaan Pembaharuan di Turki dan mesir adalah

Tonggak pembaharuan Islam di Mesir diawali sejak Muhammad ‘Ali tampil sebagai pasha (penguasa) di Mesir (1805-1849) pasca invansi militer Perancis tahun 1798 M. Adapun formulasi pemikiran pembaharuannya memperoleh sokongan penting dari peran Rifa’ah al-Tahtawi (1801-1873 M), yang merekonstruksi sistem pendidikan Mesir dengan mengusahakan pemaduan Islam dan ide-ide modern. Selanjutnya, tampil Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897) dengan gerakan Pan Islamisme-nya yang menyerukan perlunya solidaritas dan kesatuan ideologi dunia Islam untuk melawan dominasi imperialisme dunia Barat. Salah satu muridnya yang terkemuka, Muhammad ‘Abduh (1849-1905 M), kemudian juga muncul sebagai tokoh utama modernisme Islam, sekalipun dalam beberapa pemikirannya justru tampak lebih dekat dengan al-Tahtawi. Terutama pada gagasan pencarian titik moderasi (taufiqiyah) antara Islam dan sains modern. Melalui Abduh inilah, pemikiran pembaharuan Islam dipercaya menemukan bentuknya secara lebih tegas dalam sejarah Islam. H.A.R. Gibb mengikhtisarkan pemikiran Abduh ini kedalam 4 (empat) tema sentral: (1) Pemurnian Islam dari praktek dan pengaruh penyimpangan; (2) Reformasi pendidikan Islam; (3) Reformulasi doktrin Islam dengan memanfaatkan pemikiran modern; dan (4) Perlawanan terhadap pengaruh Barat dan serangan Kristen ke dunia Islam. Tema revivalis yang masuk dalam konstruk pemikiran ‘Abduh tersebut (poin pertama), jika dilacak, memiliki kesesuaian dengan ide-ide revivalis yang menjadi karakter gerakan Islam pra-modern. Gerakan yang oleh Achamd Jainuri diistilahkan sebagai gerakan pembaharuan awal yang purifikasionis-reformis itu antara lain diperjuangkan oleh Syaikh Ahmad Sirhindi (1563-1624 M), Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1703-1792 M) dan Shah Waliyullah (1703-1762 M). Bahkan jika ditarik lebih jauh, dapat sampai kepada figur Ibn Taymiyah (1263-1328 M). Menurut Fazl al-Rahman, gerakan revivalis sejatinya merupakan bagian dari intensitas dan universalitas upaya otokritik, dimana kesadaran atas kemunduran internal masyarakat muslim dan perlunya rekonstruksi dilakukan melalui eliminasi praktek-praktek penyimpangan agama serta mengupayakan tegaknya standar moral sosial. Tokoh pembaharu dari Mesir lainnya yang menonjol adalah Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), murid dari Abduh. Sejalan dengan gurunya, Ridha melihat perlunya tafsir agama yang bersumber langsung kepada al-Qur’an dan al-Sunnah dengan sikap terbuka berupa pengakuan atas faedah ide-ide modern dan penggunaannya. Tetapi corak penjelasannya tampak lebih dekat dengan al-Afghani yakni memasukkan dimensi politis bahkan Pan Islamis untuk memperbaharui dunia Islam. Hanya saja, disini ia menyerukan pentingnya menciptakan kembali khilafah (kekhalifahan) baru lebih dari hanya sekedar kesatuan ideologi dan politik umat Islam sebagaimana diserukan oleh al-Afghani.

Sedangkan Pembaharuan di Turki sudah dimulai sejak Sultan Mahmud II (1785—M) berkuasa. Sultan ini secara radikal memulai gerakannya merombak struktur pengelolaan kenegaraan antara eksekutif dan yudikatif. Di bidang hukum, ia memilah antara urusan hukum Islam dan hukum Barat (sekuler). Selain pembaharuan di bidang militer, ia juga merubah kurikulum pendidikan menjadi lebih apresiatif dengan materi-materi bacaan dari Barat. Banyak pelajar yang atas perintahnya dikirim untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi ke Eropa. Ide-ide pembaharuannya ini kemudian dilanjutkan oleh gerakan Tanzimat dengan tokoh sentralnya Mustafa Rasyid Pasya (1800—M) dan Mustafa Sami. Selain tokoh-tokoh tersebut, Shadiq Rif’at (1807—M) merupakan figur terkemuka yang menyerukan perlunya jaminan hak-hak asasi bagi warga negara di samping keharusan pemerintah untuk bersikap demokratis dan tidak korup agar tercipta kemakmuran dan kemajuan. Ide-ide pembaharuan Tanzimat selanjutnya diusung oleh gerakan Usmani Muda yang kritis terhadap absolutisme kekuasaan kerajaan Turki dengan tokohnya: Ziya Pasya (1825—M) dan Namik Kemal (1840-1888 M). Gerakan pada puncaknya bermaksud menumbangkan kekuasaan Sultan Abdul Hamid yang berakhir kegagalan. Sebab-sebab kegagalannya antara lain: (1) Ide yang diusungnya tidak sepenuhnya terpahami oleh kalangan istana; (2) Gerakannya tidak memiliki basis dukungan yang cukup dari kalangan menengah yang bisa menjembataninya berhubungan dengan kalangan lapisan bawah. Jadi cenderung bersifat elitis dan eksklusif; (3) Tidak adanya kekuatan yang cukup untuk menandingi pilar-pilar kekuasaan Sultan. Dengan semakin absolutnya kediktatoran Sultan, memicu munculnya kaum oposan dari beragam kalangan. Salah satunya adalah gerakan Turki Muda di bawah kepemimpinan Ahmed Riza, Mehmed Murad dan Pangeran Sihabuddin. Dari ketiga tokoh yang telah akrab bersentuhan dengan ide-ide Barat ini lahir ide-ide rekonstruksi Turki menjadi negara konstitusional dengan struktur yang terdesentralisasi. Jalur pendidikan tetap menjadi prioritas sebagai instrumen perubahan yang vital. Pemuka Turki Muda tersebut kemudian bergabung bersama kalangan militer dan elemen lainnya dalam kelompok Persatuan dan Kemajuan (Ittihad ve Terekki) yang menginisiasi pemberontakan tahun1908 M. Sultan Abdul Hamid akhirnya menerima tuntutan untuk mengadakan pemilu untuk membentuk parlemen yang kemudian diketuai oleh Ahmed Riza. Peristiwa politik tersebut mempengaruhi stabilitas negara, dengan tanpa dukungan dari kelompok ulama konservatif dan tarekat Bektasyi yang berpengaruh, maka Sultan Mehmed V akhirnya naik ke tampuk kekuasaan. Pemilu selanjutnya diadakan kembali tahun 1912 M yang dimenangkan oleh kelompok Ittihad ve Terekki. Kekuasaan selanjutnya dipegang oleh wakil dari kalangan militer di bawah Enver Pasya, Jemal Pasya, dan Talat Pasya. Modernisasi Turki berlangsung kembali di segala aspeknya.

Dari sejarah pembaharuan Turki selanjutnya didapati 3 (tiga) orientasi gerakan yang berbeda: (1) Tradisionalis, yang kukuh dengan ide Islamisme dan perlu tegaknya pemerintahan Islam. Tokoh utamanya adalah Mehmed Akif (1870-1938 M); (2) Nasionalis, yang mengembangkan ide pan-Turkisme yang bercita-cita tegaknya negara Turki yang memiliki identitas kultural otentik yang khas dan berbeda dari masyarakat lainnya. Tokoh sayap gerakan ini adalah Zia Gokalp (1875-1924 M); (3) “Modernis”, yang bereaksi terhadap kelompok tradisionalis dengan mengusung Islam rasional yang akrab dengan ide-ide Barat. Mereka menyerukan perlunya masyarakat Turki mengambil pola Barat bagi kemajuan negerinya. Dalam banyak hal ketiga aliran ini memiliki perbedaan pandangan yang khas. Dalam soal institusi kenegaraan misalnya, kaum tradisionalis melihat perlunya negara Islam yang menerapkan hukum-hukum Tuhan. Kaum modernis justru menganjurkan pemisahan antara agama dan negara. Sementara kaum nasionalis lebih melihat pada urgensitas langkah yang dapat mereduksi peran mahkamah syari’ah di bawah Syaikh al-Islam yang terlampau berlebihan. Dalam bidang ekonomi, kaum modernis menganjurkan adopsi sistem kapitalisme dan liberalisme yang dikecam oleh kaum tradisionalis sebagai sistem yang sama buruknya dengan sosialisme dan komunisme. Khusus terkait bunga bank, kaum nasionalis tidak sepakat dengan kaum tradisionalis tentang keharamannya. Menurut mereka, yang diharamkan oleh al-Qur’an adalah bunga dalam transaksi jual-beli uang, bukan bunga bank dari menyewakan atau meminjamkan uang. Sementara di bidang pendidikan, kaum modernis menuntut kebebasan pendidikan dan mimbar akademik dengan memasukkan materi-materi filsafat, logika dan pengetahuan Barat lainnya. Sisi lain, kaum tradisionalis yang takut erosi terhadap identitas Islam karena pengaruh ilmu-ilmu Barat cenderung mempertahankan sistem pendidikan madrasah. Disini kaum nasionalis lebih berkeinginan membangun sistem pendidikan yang berakar dari nilai-nilai kultural yang asli dari bangsa Turki. Khusus mengenai masalah perempuan, kalangan modernis menyerukan ide-ide persamaan hal termasuk menyerang “kerudung” sebagai simbol yang memasung perempuan. Pemahaman ini jelas ditentang keras oleh kalangan tradisionalis. Adapun kaum nasionalis tampaknya berpihak pada pemikiran atas perlunya partisipasi publik bagi perempuan di bidang sosial maupun ekonomi. Soal poligami, kaum nasionalis menyerukan penghapusannya.

3.Siapa Mustafa Kamal Attaturk,apa pentingnya kamal attaturk bagi dunia Islam?Apa saja usaha-usahanya untuk kepentingan Islam dan Umatnya?

Pada tahun 1919-1923 terjadi revolusi Turki setelah Turki Muda di bawah pimpinan Mustafa Kemal. Kecemerlangan karier politik Mustafa Kemal dalam peperangan, yang dikenal sebagai perang kemerdekaan Turki, mengantarkannya menjadi pemimpin dan juru bicara gerakan nasionalisme Turki. Gerakan nasionalisme ini, yang pada waktu itu merupakan leburan dari berbagai kelompok gerakan kemerdekaan di Turki, semula bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan Turki dari rebutan negara-negara sekutu. Namun pada perkembangan selanjutnya gerakan ini diarahkan untuk menentang Sultan.

Mustafa Kemal (1881-1938) mendirikan Negara Republik Turki di atas puing-puing reruntuhan kekhalifahan Turki Usmani dengan prinsip pembaharuannya Westernalisne, Sekularisme, dan Nasionalisme. Meskipun demikian, Mustafa Kemal bukanlah yang pertama kali memperkenalkan ide-ide tersebut di Turki. Gagasan sekularisme Mustafa Kemal banyak mendapat inspirasi dari pemikiran Ziya Gokalp (1875-1924), seorang sosiolog Turki yang diakui sebagai Bapak Nasionalisme Turki. Pemikiran Ziya Gokalp adalah sintesa antara tiga unsur yang membentuk karakter bangsa Turki, yaitu ke-Turki-an, Islam serta Modernisme.

Kronologi sejarah di atas, penulis uraikan untuk menerangkan suatu kondisi sosial politik Imperium Usmani yang pada ujungnya membentuk pemikiran dan gerakan sekuler Mustafa Kemal. Politik Kemalis ingin memutuskan hubungan Turki dengan sejarahnya yang lalu supaya Turki dapat masuk dalam peradaban Barat.

Akhirnya Dewan Nasional Agung pada tanggal 29 Oktober 1923 memproklamasikan terbentuknya negara Republik Turki dan mengangkat Mustafa Kemal sebagai Presiden Republik Turki. Pada tanggal 3 Maret 1924 Dewan Agung Nasional pimpinan Mustafa Kemal menghapuskan jabatan khalifah. Khalifah Abdul Majid sebgaai khalifah terahir diperintahkan meninggalkan Turki. Pada tahun 1928 negara tidak ada lagi hubungannya dengan agama. Sembilan tahun kemudian, yaitu setelah prinsip sekulerisme dimasukkan ke dalam konstitusi di tahun 1937, Republik Turki dengan resmmi menjadi Negara sekuler.

Perlu dipahami bahwa, sekulerisasi yang dijalankan oleh Mustafa Kemal tidak sampai menghilangkan agama. Sekulerisasinya berpusat pada kekuasaan golongan ulama dalam soal negara dan dalam soal politik. Yang terutama ditentangnya ialah ide negara Islam dan pembentukan negara Islam. Negara mesti dipisahkan dari agama. Institusi-institusi negara, sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan harus bebas dari kekauasaan syari’at. Namun, negara tetap menjamin kebebasan beragama bagi Rakyat.

Dari ini maka sebenarnya mustafa kemal attaturk ingin memajukan islam dengan konsepnya yaitu yaitu ke-Turki-an, Islam serta Modernisme.ini dapat dipahami karena Kemajuan Barat dan kolonialisme telah menyudutkan sejarah dan identitas Islam pada titik kemunduran. Sepanjang Abad ke-19, Barat telah mendesak Islam dari berbagai sudut, baik militer, ekonomi maupun politik. Dengan setting sosio-politik dan historis yang terjadi mendorong para pembaharu, khususnya Mustafa Kemal Atatruk melakukan beberapa perubahan dan pembaharuan dalam beberapa sektor, diantaranya sektor agama, bahasa, pemerintahan serta hukum. Usaha-usahanya bagi kepentingan islam adalah sebenarnya berkaitan dengan perbedaan ide diantara tradisionalis,modernis dan nasionalis.Mustafa kemal attaturk ingin menggabungkan ketiga pemahaman tersebut sehingga dia mengambil konsep westernisasi,sekularisasi dan nasinalisme. Misalnya dalam konsep negara kemal memisahkan antara kekuasaan agama dan negara,dalam masalah pendidikan memberikan kebebasan pendidikan dan mimbar akademik dengan memasukkan materi-materi filsafat, logika dan pengetahuan Barat lainnya. Khusus mengenai masalah perempuan, menyerukan ide-ide persamaan hak .Pemahaman pada pemikiran atas perlunya partisipasi publik bagi perempuan di bidang sosial maupun ekonomi. Soal poligami, menyerukan penghapusannya.

Dalam Kasus pembaharuan Islam pada abad ke-17 sampai abad ke-18, Kaum intelektual dinasti Turki Utsmani mencari penyebab kemunduran dinastinya. Menghubungkan kemunduran kekuasaan (pemerintahan) dengan kemunduran dalam agama merupakan tema yang familiar dalam sejarah Islam. Mereka beranggapan bahwa degradasi kultural dan religius, penyelewengan tradisi dan korupsi morallah yang menyebabkannya. Para komentator yang hidup pada masa itu berargumen bahwa solusi untuk kelemahan tentara dan rezim Dinasti Ustmani bisa ditemukan jika mereka kembai kepada aturan lama, adat istiadat dan tradisi Budaya Islam dan Turki. Namun, pada awal abad ke-20, ada orientasi pembaharuan oleh Turki Kemalis, pembangunan ekonomi dan reformasi kultural adalah yang menjadi fokus pembaharuannya.

Kedatipun bara sekulerisasi di Turki telah lama di sulut dalam beberapa aspek kehidupan rakyat Turki, namun tidak berhasil menghanguskan religuitas bangsa Turki, Rasa keagamaan yang mendalam di kalangan rakyat Turki tidak tidak menjadi lemah karena sekularisasi yang dilakukan. Islam telah memiliki akar yang begitu kuat dalam kehidupan masyarakat Turki. Dan inilah yang dapat memperkokoh asumsi bahwa konsep sekularisasi Barat tidak akan tumbuh subur ketika mencoba diterapkan dalam masyarakat Muslim.

Demikian pula para pembaharu Turki, khususnya pada Kemal Attaruk, tidaklah bermaksud menyirnakan Islam dari masyarakat Turki, yang mereka kehendaki adalah de-ideologi Islam, yaitu memisahkan kekauasaan (lembaga) Islam dari bidang politik dan pemerintahan. Sebab ideologisasi Islam yang pernah dikembangkan penguasa Turki Utsamani dan mampu mengantarkan Turki Utsnami pada puncak kejayaannya dinilai para pembaharu Turki tidak cukup efektif lagi untuk mendongkrak kelumpuhan Turki Utsmani dalam menghadapi Barat. Oleh karena itu, langkah ini –yang menurut penagagasnya adalah langkah terbaik- mereka tempuh dalam rangka mengembalikan kejayaan Islam di Turki.

Di lain pihak, sejak memproklamirkan diri menjadi negara sekuler pada tahun 1924, Musthafa Kemal dinilai telah melampaui nilai-nilai sekulerisme. Bagimana tidak, masyarakat seolah dijauhkan dari symbol dan nilai-nilai agama. Pelarangan Pemakaian jilbab bagi wanita, huruf-huruf Arab diganti dengan huruf latin, busana khas bagi laki-lakai diganti dengan busana ala Eropa, dll. adalah bentuk dan bukti yang menguatkan asumsi ini. Singkatnya, semua yang berkaitan dengan symbol-symbol Arab dan Islam dilarang.

4.Apa dan Siapa Hasan Al-Banna dan Muhammad Natsir (Indonesia),Jelaskan Persamaan dan Perbedaan kedua tokoh tersebut dalam berbagai Hal,termasuk dalam Politik.

a.Hasan Albanna

Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Sa’ati

Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seo-rang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.
Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ini adalah awal perke-nalannya dengan gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya. Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia bergabung dengan organisasi Man’ul Muharramat.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dengan majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya Al-Banna bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari

Pada bulan Dzulqa’dah 1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untuk Islam dan sama-sama bersumpah untuk menjadikan hidup mereka untuk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin. Dengan bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi Al-Banna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk mencalonkan dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris memanipulasi hasil pemilihan umum.

Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.

b.Moh.Natsir

Orang banyak mengenalnya sebagai Pak Natsir. Nama lengkapnya Muhammad Natsir, bergelar Datuk Sinaro nan Panjang, lahir di Minangkabau tanggal 17 Juli 1908, tepatnya di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat, dari pasangan Sutan Saripado dan Khadijah. Beliau adalah tokoh bangsa, tokoh umat, dan tokoh dunia Islam, karena aktifitas dan peran yang telah dilakukannya untuk Islam dan umat tanpa mengenal lelah.

Pada tahun 1945-1946, pak Natsir menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), tahun 1946-1949 menjabat sebagai Menteri Peneranan RI, tahun 1950-1951 menjadi Perdana Menteri RI.

Dalam percaturan dunia Islam, khususnya di negara-negara Arab, pak Natsir sangat dikenal, dihormati dan disegani, beliau ikut serta dan terlibat pada beberapa organisasi Islam tingkat internasional, tahun 1967 diamanahkan menjabat Wakil Presiden World Muslim Congress (Muktamar Alam Islami), Karachi, Pakistan, tahun 1969 menjadi anggota World Muslim League, Mekah, Saudi Arabia, tahun 1972 menjadi anggota Majlis A’la al-Alam lil Masajid, Mekah, Saudi Arabia, tahun 1980 menerima “Faisal Award” atas pengabdiannya kepada Islam dari King Faisal, Saudi Arabia, tahun 1985 menjadi anggota Dewan Pendiri The International Islamic Charitable Foundation, Kuwait, pada tahun 1986 menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies, London, Inggris dan angota Majelis Umana’ International Islamic Univesity, Islamabad, Pakistan.

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN

MASALAH

AL BANA

MOH.NATSIR

sistem kenegaraan dan politik

dalam bernegara umat Islam hendaklah kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, tidak perlu mengikuti sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah apa yang dilaksanakan oleh Nabi Muhmmad dan empat Kulafa al-Rasyidin.

bahwa Islam ialah sumber penentangan setiap macam penjajahan, penentangan eksploitasi manusia atas manusia; sumber pemberantasan kebodohan, kejahilan; sumber pemberantasan pendewaan, juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara kegamaan dan kenegaraan. Islam itu adalah primair. Maka Islam itu adalah : ( al-din wa al-daulah) agama dan negara

Mohammad Natsir beranggapan bahwa sistem kenegaraan dan politik Islam tidak harus sama dan sebangun dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin. Juga tidak harus sama dengan kekhalifahan sesudahnya seperti masa Bani Umayah dan Bani Abbasiah, bahkan tidak pula sama dengan apa yang terjadi di masa Safawi, Mughal atau Turki Usmani. Bagi Natsir, Islam menjadi sumber kehidupan negara modern sesuai dengan keadaan zaman, waktu dan tantangan yang dihadapi.

PRINSIP HIDUP

DAKWAH SEPANJANG HAYAT

DAKWAH SEPANJANG HAYAT

CITA-CITA

ü menguatkan ikatan persaudaraan antara kaum muslimin dan mengikis perpecahan dan sengketa di antara golongan-golongan mereka.

ü Menghidupkan kmbali kejayaan islam

ü Memerangi kebodohan

ü

Pertama, membebaska manusia dari segala bentuk supertisi (takhayul dan khaurafat), memerdekakannya dari segala rasa takut kecuali kepada Allah Sang Maha Pencipta serta memegang perintah-perintah-Nya agar kebebasan ruhani manusia dapat dimenangkan.

Kedua, segala macam tirani harus dilenyapkan, eksploitasi manusia diakhiri, dan kemiskinan diberantas untuk mencapai maksud-maksud tersebut. Tirani dan eksploitasi manusia dilenyapkan bilamana penderitaan dan penyakit masyarakat dapat dihilangkan, yang kesemuanya bersumber pada kemusyrikan dan kekufuran.


Ketiga, chauvinisme yang merupakan akar intoleransi dan permusuhan di antara manusia wajib diperangi. Secara demikian, kita semua wajib membangun masyarakat di mana martabat manusia diakui secara penuh, seluruh anggota masyarakat satu sama lain tolong-menolong dan menolak anggapan yang kuatlah yang menang (the survival of the fittest).

Keempat, Natsir yakin bahwa Islam mengajarkan cita-cita politik yang sangat luhur, dan dalam kenyataan umat Islam Indonesia telah memperjuangkan cita-cita untuk membangun masyarakat yang bebas dari chauvinisme, tirani, dan eksploitasi. Tauhid adalah modal perjuangan kaum Muslimin.

Oleh karena dengan Tauhid, perjuangan tersebut tidak akan pernah menyimpang. Seluruh perjuangan para pemimpin Islam pada hakikatnya bergerak untuk mencapai cita-cita itu, sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro, Diponegaro, Hasanuddin dan lain-lain.

Kelima, untuk mencapai tujuan politik tersebut di atas, konteks situasional dan kondisional yang dihadapi harus diperhatikan, berhubung cara-cara perjuangan harus selalu disesuaikan dengan tantangan dan masalah yang dihadapi.

Karir politik

Mencalonkan menjadi perdana menteri

Menjadi perdana menteri

Organisasi

Mendirikan Ikhwanul Muslimin

Mendirikan Partai Islam Masyumi

Akademik

Gemar membaca dan menulis

Gemar membaca dan menulis

Dasar Negara

Islam

Pancasila

Comments :

1

hu482 fake bags hm561

Anonim mengatakan...
on 

Posting Komentar