Sabtu, 09 Mei 2009

analisa pengembangan kurikulum

ANALISA PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

DI INDONESIA

Di negara kita saat ini, masalah peningkatan mutu pendidikan Islam selalu menjadi pembahasan yang menarik. Sinyalemen yang ada, 1) pendidikan Islam yang kuantitasnya begitu besar dan tersebar di seluruh penjuru negeri telah begitu kuat mengakar di dalam hati masyarakat Indonesia yang memang mayoritas muslim, serta 2) telah terjadi kemerosotan mutu pendidikan, baik di tingkat dasar, menengah, maupun tingkat pendidikan tinggi. Hal ini berlangsung akibat penyelenggaraan pendidikan yang lebih menitikberatkan pada aspek kuantitas dan kurang dibarengi dengan aspek kualitasnya, dan pembelajaran yang fokus orientasinya bersifat subject matter oriented dalam arti memahami dan menghafal pelajaran sesuai dengan kurikulum saja.

Selain itu dunia pendidikan juga dihadapkan pada berbagai masalah pelik yang apabila tidak diatasi secara tepat, tidak mustahil dunia pendidikan akan ditinggal oleh zaman. Kesadaran akan timbulnya dunia pendidikan dalam memecahkan dan merespon berbagi tantangan baru yang timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis dan bahkan suatu keharusan. Hal yang demikian dapat dimengerti mengingat duinia pendidikan merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manusia. Kegagalan dunia pendidikan dalam menyiapkan masa depan umat manusia, adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa.

Sebuah keniscayaan bahwa kehadiran lembaga pendidikan Islam yang berbagai jenis dan jenjang pendidikan itu sesungguhnya sangat diharapkan oleh berbagai pihak, terutama umat Islam. Bahkan hal itu terasa sebagai kebutuhan yang sangat mendesak terutama bagi kalangan muslim kelas menengah ke atas yang secara kuantitatif terus meningkat belakangan ini. Fenomena sosial yang sangat menarik ini mestinya dijadikan tema sentral kalangan pengelola pendidikan Islam dalam melakukan pembaruan dan pengembangannya.

Rendahnya mutu pendidikan Islam dapat ditimbulkan oleh beberapa sebab. Antara lain, rendahnya mutu kurikulum (kurikulum yang tidak dibarukan), format isi silabus perkuliahan yang tidak bermutu, administrasi kelas tidak berjalan, tidak memiliki pedoman pembimbingan. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan kaji ulang dan revisi kurikulum secara periodik sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.
Oleh karena itu kurikulum sebagai salah satu elemen dasar pendidikan juga memegang peranan penting dan vital dalam ikut mensukseskan tujuan Pendidikan Nasional. Sehingga pengembangan kurikulum di dalam pendidikan Islam mutlak diperlukan. Hal ini tidak lepas dari banyaknya materi pelajaran yang dibebankan kepada lembaga pendidikan Islam. Sehingga dalam penyelenggaraannya dituntut adanya kreatifitas dari pengelola dan guru di lembaga pendidikan Islam.

Lazimnya, segala pembaharuan dalam bidang pendidikan harus dipahami sebagai upaya manusia untuk membebaskan dirinya dari segala keterbelakangan dan ketidaktahuan yang dimilikinya. Selain itu, secara lebih normatif, pendidikan merupakan cara manusia untuk mengenal dirinya dalam konteks kemanusiannya, serta sebagai upaya mendekatkan dirinya kepada Penciptanya (Allah SWT) melalui perspektif kemanusiaan yang dimilikinya.

Bagi kebanyakan negara yang sedang berkembang bahkan negara maju sekalipun pendidikan berfungsi untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM). Secara normatif pendidikan diharapkan dapat memberi petunjuk bagi keberlangsungan kehidupan sesuai dengan tata nilai ideologis dan kultural bangsa, sehingga proses yang berlangsung dalam dunia pendidikan harus dapat memberi kesadaran kepada manusia akan potensi kemanusiaan yang dimilikinya

Lebih dari itu pendidikan harus mampu merangsang manusia untuk mempergunakan potensi tersebut sesuai dengan tata nilai kemanusiaan. Selain itu, secara material pendidikan harusnya dapat memberikan pengetahuan yang memajukan dan mempertinggi kualitas hidup, baik dalam skala kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara.

Menengarai hal tersebut, bagi masyarakat bangsa Indonesia, masalah pendidikan dengan sendirinya menjadi salah satu agenda yang menduduki posisi penting. Kesadaran akan hal inilah yang menjadikan pemerintah (negara) memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan proes pendidikan bagi warga negaranya.

Hanya saja jika dicermati, tampak kesenjangan antara tingginya animo masyarakat untuk mereguk pendidikan sebanyak-banyaknya dengan kemampuan Pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Menyadari keterbatasan yang dimiliki, negara membuka peluang kepada setiap individu warga negara, kelompok masyarakat dan lembaga yang ada di masyarakat lainnya untuk ikut berpartisipasi memecahkannya.

Pada sisi inilah banyak lembaga-lembaga Islam yang turut mengambil peluang untuk ikut berkompetisi menyelenggarakan lembaga pendidikan, tentunya dengan tujuan selain sebagai wujud partisipasi aktif, juga adanya keharusan untuk melindungi umat dengan cara menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan agama yang dianutnya.

Di lihat dari sisi manapun, pendidikan Islam memiliki peran dalam konteks pendidikan nasional. Hanya saja harus dimaklumi dan dipahami jika hingga hari ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap menempati posisi kedua dalam banyak situasi. Sebagai contoh, jurusan yang menawarkan pendidikan Islam kurang banyak peminatnya, jika dibandingkan dengan jurusan lain yang dianggap memiliki orientasi masa depan yang lebih baik. Dalam hal pengembangan kelembagaan akan terlihat pula betapa program studi/ sekolah yang berada di bawah pengelolaan dan pengawasan Departemen Agama tidak selalu yang terjadi di bawah pembinaan Dinas Pendidikan Nasional (Diknas), bahkan harus dengan tertatih untuk menyesuaikan dengan yang terjadi di sekolah-sekolah umum tersebut.

Meski disadari betapa pentingnya posisi pendidikan Islam dalam konteks pendidikan nasional. Namun, harus pula diakui hingga saat ini posisi pendidikan Islam belum beranjak dari sekadar sebuah sub sistem dari sistem besar pendidikan nasional.

Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi managerial dan proses pendidikan Islam. PP tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana seharusnya pendidikan keagamaan Islam (bahasa yang digunakan PP untuk menyebut pendidikan Islam), dan keagamaan lainnya diselenggarakan.

Salah satu alasan terkuat mengapa perlu penyatuan pendidikan di bawah satu atap adalah, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan yang dibuat oleh Diknas. Inovasi-inovasi pembelajaran lebih banyak muncul kali pertama dari Diknas bukan dari Depag. Dengan sendirinya, Depag kerap selalu menunggu adanya inovasi ataupun kebijakan pengelolaan yang akan dikeluarkan oleh Diknas. Dalam catatan sejarah pendidikan nasional, hampir tidak banyak inovasi yang dilakukan Depag yang benar-benar berbeda dengan yang dikembangkan oleh Depdiknas.

Kenyataan ini jelas tidak dapat dipungkiri, cermati saja bagaimana kebijakan tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terasa betapa dominasi Diknas dalam pengembangan dan penerapannya begitu terlihat. Sementara itu, Depag tetap setia mengikutinya. Untuk kasus yang lebih baru, Depag juga tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan mata uji apa saja yang harus ditempuh oleh peserta didik yang mengikuti pendidikan di MTs dan MA/ MAK saat penentuan kelulusan.

Selain itu dari sisi managerial, madrasah dikelola Departemen Agama yang tidak memiliki dana yang cukup untuk membiaya madrasah yang jumlahnya sangat banyak, di samping Depag tidak memiliki sumber tenaga kependidikan yang memadai untuk mengelola madrasah, jika dibandingkan dengan Diknas.

Sejak awal hadir, sebenarnya madrasah lebih berfokus pada pendidikan keagamaan dan keislaman. Dengan perubahan orientasi tersebut justru madrasah saat ini kehilangan jati dirinya, dan lebih parah lagi kesulitan pula untuk merebut peran dalam konteks pendidikan nasional, jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum di bawah pembinaan Depdiknas.

Pada masa-masa yang akan datang, dalam hal pengembangan kurikulum, tampaknya madrasah masih akan terus dihadapkan pada dilema dikotomi keilmuan. Setia dengan tujuan awal hadirnya sebagai pengembang ilmu-ilmu keislaman, atau sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar melakukan perubahan kurikulum yang ukurannya adalah pragmatism sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup peserta didik. Tentu saja, pilihan atas itu semua akan memiliki resiko yang tidak sama dalam pengembangan materi pembelajaran, orientasi serta proses pembelajarannya.

Sementara persoalan pendidikan kesetaraan di lingkup Diknas sendiri belum seluruhnya tuntas, setidaknya untuk masalah home scooling yang hingga hari ini masih tarik ulur tentang penyelenggaraannya. Tentunya Depag juga harus mulai antisipasi untuk membuat desain model penyetaraan bagi pendidikan diniyah non-formal ini. Sebab rasanya tidak adil, tidak menghargai mereka yang telah menempuh pendidikan selama kurun waktu tertentu, namun tidak memberi atribut kelulusannya.

Pendidikan Islam di Indonesia selalu dihadapkan pada tantangan-tantangan serius yang membutuhkan perhatian ekstra dari pemerintah dan kalangan yang berkecimpung di dunia pendidikan. Dewasa ini, pendidikan Islam setidaknya menghadapi empat tantangan pokok. Pertama, konformisme kurikulum dan sumber daya manusia; kedua, implikasi perubahan sosial politik; ketiga, perubahan orientasi; dan keempat, globalisasi. Semua tantangan pendidikan Islam tersebut terkait satu sama lain.

Konformisme, atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada, merupakan tantangan pendidikan di manapun. Konformisme adalah musuh utama kreatifitas. Padahal, kreatifitas sangat dibutuhkan untuk terus memperbarui keadaan pendidikan. Jepang yang dikenal dengan sistem pendidikan yang ketat justru sejak 1980-an meninjau ulang pendidikan mereka yang dianggap terjebak konformitas. Kreatifitas yang merupakan “roh” pendidikan dinilai sudah lama tercerabut sehingga hal itu sangat mengkhawatirkan pemerintah Jepang.

Pendidikan Islam yang sudah ”tertinggal” (dibandingkan pendidikan yang berorientasi sekuler) malah juga terjebak pada konformisme. Ini tentu suatu kondisi yang lebih paradoks. Konformisme biasanya terjadi pada suatu kondisi yang sudah mapan, akan tetapi hal ini justru terjadi pada konteks pendidikan Islam yang bergerak lamban. Bisa dibayangkan, implikasi lebih lanjut dari konformisme pendidikan Islam.

Kurikulum yang kini dijalankan di lembaga pendidikan Islam, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah, masih banyak menggunakan model lama. Pendidikan dasar agama masih menjadi andalan, sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat, akan tetapi hal ini saja tidak cukup. Harus diikuti dengan bekal pengetahuan lainnya yang kontekstual dengan perkembangan sosial. Sekalipun di lembaga tertentu ada pembaruan kurikulum, namun sifatnya masih parsial. Secara keseluruhan kurikulum pendidikan Islam masih konservatif.

Implikasinya sangat serius ketika para lulusannya (SDM) menghadapi perubahan di luar dunia pendidikan mereka. Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang mereka pelajari dan bayangkan selama berada di tempat belajar-mengajar tadi. Pluralitas sosial dan kemanusiaan di tengah masyarakat membuat mereka gagap. Indonesia yang mereka diami rupanya sebuah entitas yang berwarna. Kebangsaan ini rupanya tak bisa dilihat secara monolitik, misal dari sudut pandang umat Islam saja. Di sisi lain, kelompok sosial yang merupakan produk pendidikan sekuler, dan mereka umumnya non-muslim, justru lebih adaptif, responsif, serta menguasai tren iptek.

Perubahan sosial politik ikut memberi ’warna’ pendidikan Islam. Label sebagai institusi pendidikan Islam ikut mempengaruhi persepsi publik terhadap posisi lembaga pendidikan Islam dalam konteks perubahan sosial politik. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam kerap dijadikan “kendaraan” oleh para petualang politik mencari dukungan. Setelah dukungan suara didapatkan, kenyataannya lembaga pendidikan Islam tadi tetap tidak banyak berubah. Realitas seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak pendidikan agama. Visi pendidikan Islam akhirnya sulit berubah dari lembaga yang hanya mendidik para calon ulama, dalam konotasinya yang ortodoks.

Paradoks lainnya berkaitan dengan stigma baru yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama. Dewasa ini lembaga pendidikan Islam mendapat citra baru, yakni mengajarkan radikalisme. Padahal kalau diperiksa tidak semua pesantren mengajarkan pendidikan dengan orientasi yang mengarahkan peserta didik berbuat radikal. Islam agama damai dan menyejukkan (hanif) mesti tetap menjadi pesan pokok pengajaran mulai dari tingkat Ibtidaiyah sampai Perguruan Tinggi. Radikalisme dalam pengajaran biasanya memunculkan radikalisme dalam tindakan.

Perubahan orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan tuntutan zaman, terlebih di era globalisasi dewasa ini. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu alam. Ilmu agama dan ”ilmu duniawi” harus konvergen.

Comments :

0 komentar to “analisa pengembangan kurikulum”


Posting Komentar